"Adakah kehidupan lain di alam ini?" atau
"Berapa lama lama semesta ini terbentuk?"
Begitulah pertanyaan yang sampai saat ini masih belum menemukan jawabannya.
Januari 2008 dunia kembali dibuat tercengang dengan ditemukannya planet ekstrasolar (asing) lainnya oleh tim peneliti Institut Max Planck (MPIA) untuk Astronomi di Heidelberg, Jerman. Planet yang diberi nama TW Hya b tersebut mengelilingi bintang TW Hydrae itu berada di konstelasi Hydra yang berjarak 180 tahun cahaya dari Bumi.
Penemuan yang menggunakan teleskop spektrograf F EROS sepanjang 2,2 meter di La Silla Observatory, Chile ini dipublikasikan dalam jurnal ilmiah terkemuka Inggris, Nature vol. 451, 38 yang terbit tanggal 2 Januari 2008. Penemuan ini membuat kaget dunia astronomi. Pasalnya dalam kurun waktu 12 tahun terakhir tak satu pun planet yang muncul dari bintang muda. Selain itu, planet tersebut termasuk jenis planet gas raksasa--berukuran antara 5,5 kali hingga 13,1 kali Planet Jupiter--yang merupakan planet termuda yang pernah ditemukan.
Menurut standar astronomi, umur planet tersebut sekitar 8 juta-10 juta tahun. Bandingkan dengan tata surya yang berumur 4,5 miliar tahun dan matahari yang 100 juta tahun lebih tua. Tentu saja planet TW Hya b tergolong sangat muda.
Penemuan ini tidak hanya menambah panjang daftar penemuan planet di luar tata surya kita, namun juga memberikan informasi baru mengenai proses pembentukan planet-planet yang sampai saat ini masih diperdebatkan berapa lama waktu yang dibutuhkan agar sebuah planet dapat terbentuk.
Selain itu, Juni 2005 tim peneliti yang sama juga berhasil menemukan planet ekstrasolar lain yang diberi nama HD 11977 b yang juga memberikan informasi mengenagi pemahaman evolusi dari sistem tata surya lain berkaitan dengan eksistensi planet jika bintang induk yang dikelilingi kehabisan sumber energi.
Namun, siapa yang menyangka penemuan-penemuan oleh tim yang terdiri atas sekelompok astronom Eropa dan Brasil ini ternyata berada di bawah pimpinan anak muda Indonesia yang bernama Johny Setiawan Dr. Rer.nat., Dipl. Phys. Ia menambah deretan putra bangsa yang mengukir prestasi ilmiah di mancanegara.
Johny Setiawan, pria kelahiran Jakarta, 16 Agustus 1974 ini merupakan salah satu astronom muda yang banyak menorehkan prestasi di tingkat internasional. Penemuannya diakui dunia, diberitakan di majalah dan jurnal internasional, serta di press release European Southern Observatory dan National Geographics Germany.
Ia bergabung sebagai peneliti post-doctoral di MPIA, di Department of Planet and Star Formation (Prof. Dr.Thomas Henning) sejak Juni 2003. Di tahun yang sama pula ia mulai memimpin penelitian di observasi bintang dan planet ESO La Silla. Selain itu, ia juga bekerja secara khusus di sejumlah projek seperti ESPRI (Pencarian Planet dengan PRIMA/ Phase-Referenced Imaging and Micro-arcsecond Astrometry).
Planet yang Johny cari bukanlah planet yang berada di tata surya atau sistem planet yang berbintang induk matahari. "Melainkan planet yang diinduki oleh bintang-bintang nun jauh di langit yang dalam dunia astronomi disebut sebagai eksoplanet atau planet ekstrasolar," ujar astronom yang mulai mencari eksoplanet sejak tahun 1999.
Johny bersama timnya di MPIA memfokuskan diri untuk mengkaji tata surya secara komparatif dari sisi luar tata-surya itu sendiri. Sekaligus secara tidak langsung juga mencari kehidupan lain di luar Bumi. Dari riset ekstrasolar yang dia lakukan bersama timnya terdapat lima planet yang sudah dipublikasikan sementara tujuh lainnya masih dalam antrean publikasi. Rencananya akan dilakukan dalam waktu dekat.
Ketelitian dan tahan banting
Johny yang penampilannya santai ini mengesankan sosok pemuda gaul mengatakan sudah sejak lama ia bercita-cita menjadi astronom. Kesenangannya terhadap astronomi yang amat besar itu dilandasi oleh rasa kagum pada indahnya bintang-bintang di jagat raya. Saat berumur 4 tahun ia sudah ingin sekali mengenal bintang-bintang. "Di waktu SD saya sudah mengenal beberapa bintang raksasa dari buku ilmu pengetahuan," tuturnya.
Menurut pria yang sudah sekitar 10 tahun menjadi astronom di luar negeri ini menjadi astronom amatir tidaklah sulit. Yang sulit adalah menjadi astronom profesional seperti yang sedang ia tekuni. "Karena membutuhkan jenjang pendidikan S-3 di bidang fisika pada umumnya (bukan astronomi)," ujar Johny.
Selain itu, dibutuhkan ketelitian dalam pengamatan serta "tahan banting" untuk bekerja siang-malam di kondisi alam yang sulit. Bisa mengetahui ukuran dan periode revolusi benda langit yang jaraknya amat jauh dari Bumi menuntut pengetahuan dan teknik pengamatan cermat.
Kemudian jika sedang melakukan pengamatan, ia harus rela tidak tidur di malam hari selama 2 minggu di gurun Atacama, . "Hal tersebut amat sulit jika tubuh tidak bisa mengadaptasi udara yang sangat kering dan ditambah dengan suhu yang rendah," kata pria yang mengaku kerasan bekerja di lembaga bergengsi tersebut.
Keseharian Johny yang memperoleh gelar Dr. rer.nat. dari Freiburg, German pada tahun 2003 diisi dengan bekerja di kantor di Heidelberg atau di Observatorium, di Chile. Dengan kegiatan yang meliputi menganalisis data, pengamatan, menulis publikasi ilmiah, dan melatih siswa. Waktu senggang ia gunakan untuk berolah raga yaitu fitness dan berenang.