Namun, kelangkaan dan kesulitan mendapatkan air bersih dan layak pakai menjadi permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun ke tahun.
Kelangkaan air sungguh ironis dengan predikat bumi sebagai "Planet Air" lantaran 70 persen permukaan bumi tertutup air. Namun, sebagian besar air di bumi merupakan air asin dan hanya sekitar 2,5 persen yang berupa air tawar. Itu pun tidak sampai 1 persen yang bisa dikonsumsi, sedangkan sisanya merupakan air tanah yang dalam atau berupa es di daerah kutub.
Air permukaan
Dengan keterbatasan ini, sungguh keliru kalau orang mengeksploitasi air secara berlebih. Mereka memanfaatkan air seolah-olah air berlimpah dan merupakan "barang bebas". Padahal semakin terbatas jumlahnya, berlakulah hukum ekonomi, bahwa air merupakan benda ekonomis. Buktinya, kini orang rela bersusah-susah dan berani membayar mahal untuk membeli air ketika terjadi krisis air. Masyarakat desa di negara tropis, seperti Indonesia, harus berjalan puluhan kilometer untuk mencari sumber air di musim kemarau. Sementara masyarakat perkotaan belum semuanya mendapatkan pelayanan air bersih, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Krisis ekonomi di Indonesia yang sudah berlangsung sepuluh tahun juga ikut mengancam pasokan air bersih. Seretnya dana dan membengkaknya biaya operasional ternyata sangat berpengaruh terhadap kegiatan operasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai pengelola air minum. Kehadiran PDAM dimungkinkan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1962 sebagai kesatuan usaha milik pemda yang memberikan jasa pelayanan dan menyelenggarakan kemanfaatan umum di bidang air minum. Aktivitas PDAM mulai dari mengumpulkan, mengolah, dan menjernihkan, sampai ke mendistribusikan kepada pelanggan.
Karena kuantitas dan kualitas air tanah (ground water) makin merosot, penyediaan air bersih di masa depan amat bergantung kepada air permukaan (surface water). Air permukaan ini merupakan air baku yang akan dikelola oleh perusahaan air minum di kota-kota besar. Selain dari sungai, bahan baku air minum berasal dari sumur air artesis, mata air, dan sumber lainnya. Beruntung, Indonesia yang subur memiliki banyak sumber air. PDAM yang ada di Indonesia memanfaatkan sumber airnya dari 201 sungai, 248 mata air, dan 91 artesis.
Menurut Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Provinsi Jawa Barat, tercatat 307 PDAM di Indonesia melayani 39 persen penduduk perkotaan dan 8 persen penduduk perdesaan. Sementara itu, 50 persen dari 307 PDAM tersebut tingkat cakupan layanannya di bawah 60 persen dan 28 PDAM ditengarai tidak sehat, hanya 9 PDAM yang dinyatakan sehat. Melihat situasi seperti ini maka akan semakin sulit saja masyarakat tidak mampu untuk mengakses air bersih.
Alternatif akses
Diperlukan political will yang kuat dari para pengambil kebijakan untuk menyelesaikan persoalan ini. Beberapa peraturan yang perlu diamendemen dan memang seharusnya diubah, maka harus diubah. Pasalnya, persoalan mengenai akses air ini memang sudah berlarut-larut dan sampai saat ini belum merupakan prioritas utama dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Selain peningkatan kapasitas dari PDAM baik SDM maupun infrastrukturnya, diperlukan juga beberapa alternatif lain agar masyarakat tidak mampu dapat lebih mudah mengakses air. Adanya PDAM dengan sistem penyediaan air minum (SPAM) dapat membantu dengan melakukan kegiatan utamanya seperti melalui sistem jaringan perpipaan, yakni meliputi unit air baku, unit produksi, unit distribusi, unit pelayanan, dan unit pengelolaan. SPAM yang bukan jaringan perpipaan meliputi sumur dangkal, sumur pompa tangan, bak penampungan air hujan, terminal air, mobil tangki air, instalasi air kemasan, atau bangunan perlindungan mata air .
Alternatif pembiayaan bagi peningkatan akses air bersih untuk masyarakat seperti yang telah dilakukan oleh ESP USAID dengan skema mikrokreditnya di beberapa daerah di Indonesia merupakan hal yang cukup baik untuk direplikasi. Seperti yang dilansir di situs mereka dengan tujuan untuk memperluas akses terhadap air bersih, kerja sama antara Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan bank swasta dilakukan agar sambungan pipa air baru dapat dijangkau oleh masyarakat kurang mampu melalui skema kredit mikro, terutama di daerah perkotaan.
Keuntungan kredit mikro yang paling nyata untuk PDAM dan BRI adalah mekanisme ini bisa meningkatkan jumlah pelanggan yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan bagi kedua belah pihak. Selain itu, skema ini akan mengurangi beban arus kas PDAM karena biaya membangun sambungan air berasal dari sumber eksternal.
Sebenarnya kredit mikro yang berkelanjutan sudah banyak dikembangkan dan dilaksanakan di berbagai negara berkembang untuk mendanai sambungan air baru bagi masyarakat kurang mampu, contohnya di India, Pakistan, Afrika Selatan, dan Honduras.
Keuntungan bagi calon pelanggan berpenghasilan rendah, mereka tidak perlu menyerahkan jaminan guna mendapat kredit. Yang terpenting, skema ini membantu Pemerintah Indonesia mewujudkan tujuannya menambah cakupan layanan air pipa menjadi 62 persen tahun 2015 sebagaimana ditentukan dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Saat ini, baru kurang dari 18 persen keluarga di Indonesia yang memiliki akses ke air pipa.
Pengelolaan air yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat pun sebenarnya telah banyak dilakukan di kota-kota besar seperti halnya di Kota Bandung. Beberapa NGO telah melakukan hal tersebut. Masyarakat dengan dibantu oleh NGO membuat skema pembiayaan bersama untuk membuat sistem perpipaan sendiri dan dikelola oleh masyarakat itu sendiri.
Pada akhirnya solusi untuk mengatasi krisis air akan terpulang kembali kepada seluruh pihak, baik masyarakat, pemerintah maupun sektor swasta. Diperlukan kerja sama yang kuat dan kemauan untuk bangkit bersama untuk mengatasi krisis ini. Semoga tidak menjadi slogan saja bahwa Indonesia bisa bangkit, tetapi merupakan keyakinan bahwa kita pasti bisa!!!